Dakwah & TarbiyahFiqihHadistMuamalah

Imam Abu Hanifah, Sang Pedagang Teladan

ABU HANIFAH, SANG PEDAGANG TELADAN

Nama asli beliau adalah an-Nu’man bin Tsabit, namun beliau lebih masyhur dikenal dengan kunyah-nya: Abu Hanifah. Beliau diberi gelar dengan Abu Hanifah, bukan karena ada anak kandung beliau yang bernama Hanifah. Sebagian referensi menyebutkan bahwa kata “Hanifah” bermakna tempat tinta (“ad-Dawaah”) dalam bahasa orang Iraq awam. Sehingga, diibaratkan bahwa Abu Hanifah adalah seseorang yang bergelut dengan tempat tinta untuk mengikat ilmu dengan tulisan.
Kita mungkin lebih banyak mengenal beliau sebagai seorang ‘alim, ahli fiqh, rujukan salah satu madzhab fiqh Ahlussunnah. Beliau adalah Imam madzhab fiqh yang paling terdahulu masa hidupnya dibandingkan Imam 3 madzhab yang lain. Tak banyak yang mengenal beliau sebagai seorang pedagang yang dermawan lagi amanah.
Kefaqihan beliau dalam ilmu syariat, menghantarkan beliau menjadi teladan bagi para pedagang muslim. Demikianlah seharusnya, setiap pedagang mesti berbekal dengan ilmu syar’i yang dibutuhkannya: seperti fiqh jual beli, fiqh tentang riba untuk dihindari, dan fiqh tentang zakat. Sahabat Nabi Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu pernah menyatakan:
لَا يَبِعْ فِي سُوقِنَا إِلَّا مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ
“Janganlah berjualan di pasar kami kecuali orang yang faqih (memahami aturan) agama.“ (riwayat at-Tirmidzi).


Yazid bin Harun mengatakan: “Aku pernah menulis ilmu dari seribu guru, namun aku tidak pernah melihat orang yang lebih wara’ dan lebih menjaga lisannya dibandingkan Abu Hanifah“.


Sikap wara’ dan menjaga lisan adalah perhiasan yang dibutuhkan setiap orang, terlebih para pedagang. Wara’ adalah menjauhi hal-hal yang dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan dirinya di akhirat. Dalam salah satu hadits Nabi dinyatakan:
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فُجَّارًا إِلا مَنِ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ
“Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan fajir, kecuali orang yang bertakwa, berbuat baik, dan jujur” (H.R atTirmidzi, dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam as-Shahihah).


 Hafsh bin Abdirrahman pernah bekerjasama dagang dengan Abu Hanifah. Ia menjaga barang-barang dagangan milik Abu Hanifah. Sebelumnya, Abu Hanifah telah berpesan dan menunjukkan adanya barang-barang dagangan yang cacat. Beliau ingin agar saat dijual, Hafsh menjelaskan cacat barang itu pada calon pembeli. Namun, Hafsh lupa. Ia menjual barang yang ada cacatnya tanpa sempat menjelaskan terlebih dahulu cacat tersebut. Ia juga lupa siapa yang membeli barang itu. Akhirnya, Abu Hanifah bershodaqoh sebanyak nominal harga barang yang ada pada beliau seluruhnya (Akhbaar Abi Hanifah).


Pesan Abu Hanifah kepada Hafsh tersebut sesuai dengan bimbingan Nabi untuk para pedagang. Janganlah seorang pedagang menyembunyikan atau tidak menceritakan aib/cacat barang dagangannya yang ia ketahui.
Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:


الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا


“Penjual dan pembeli memiliki pilihan selama mereka belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan (aib/cacat) barang, niscaya akan diberkahi pada jual beli keduanya itu. Namun jika keduanya berdusta dan menyembunyikan (aib/cacat) barang, akan dihapuskanlah keberkahan (jual beli) keduanya.” (H.R al-Bukhari dan Muslim).


Banyak bershodaqoh adalah perbuatan yang semestinya dilakukan para pedagang. Hal itu disebabkan seringkali perdagangan terkotori oleh sumpah dan perbuatan sia-sia.

Dalam salah satu hadits, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ الْحَلِفُ وَاللَّغْوُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
“Wahai para pedagang, sesungguhnya perdagangan (seringkali) berisi perbuatan sia-sia dan sumpah. Maka campurilah (perdagangan itu) dengan shodaqoh.” (H.R Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasaai, Ibnu Majah, Ahmad, dishahihkan Syaikh al-Albaniy).


Pernah datang seorang nenek hendak membeli kain tenun yang dijualnya. Nenek itu berkata: Aku seorang yang lemah, tapi ini amanah. Juallah kepadaku kain ini. Abu Hanifah kemudian memberikan kain itu pada nenek tersebut dan menyatakan bahwa harganya 4 dirham, harga yang sangat murah untuk kain tersebut. Nenek itu merasa terkejut, ia mengatakan: “jangan mengejek saya”. Abu Hanifah kemudian menjelaskan: “Saya telah membeli 2 kain, kemudian menjual salah satu kain dengan mendapatkan keuntungan setara dengan modalnya namun kurang 4 dirham. Maka 4 dirham itulah yang saya dapatkan dari penjualan kain ini” (Tarikh Baghdad).


Sikap Abu Hanifah tersebut adalah bentuk “samhan” (ramah dan memberi kemudahan) ketika berjual beli. Sejalan dengan Sabda Nabi
shollallahu alaihi wasallam :
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى
“Semoga Allah merahmati seseorang yang -samhan- (mudah, dermawan, ramah, memaafkan) ketika menjual, ketika membeli, dan ketika meminta haknya.” (H.R al-Bukhari)


Qoys bin arRobi’ pernah menceritakan: “Abu Hanifah adalah seorang yang wara’, faqih (paham agama), banyak berbuat baik kepada orang yang mendekat padanya. Banyak memberi kepada saudara-saudaranya. Beliau mengirimkan barang-barang ke Baghdad dan membeli barang-barang lain. Kemudian beliau jual di Kufah. Beliau mengumpulkan keuntungan (perdagangannya) dari tahun ke tahun. Beliaupun membeli barang-barang kebutuhan para masyayikh, Ahlul hadits berupa pakaian ataupun kebutuhan lain. Kemudian beliau menyerahkan kepada mereka dinar-dinar sisa keuntungan itu. Beliau (Abu Hanifah) berkata: Belanjakanlah untuk keperluan kalian. Janganlah kalian memuji kecuali Allah Ta’ala. Karena, demi Allah, Allah memperjalankan (rezeki) kalian itu melalui tanganku. Tidak mungkin rezeki Allah (untuk seseorang) berpindah kepada orang lain (Tahdziibul Asma’).


Referensi:●  Akhbaar Abi Hanifah karya alQodhiy Abu Abdillah Husain bin Ali as-Shoymariy● Tarikh Baghdad karya al-Khothib al-Baghdadiy● Tahdziibul Asma’ karya Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf an-Nawawiy
al-Ustadz Abu Utsman Kharisman hafizhahullah | WA al-I’tishom

Salafy Baturaja
t.me/salafybaturaja

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Close
Close