Fiqih

WordPress is a favorite blogging tool of mine and I share tips and tricks for using WordPress here.

  • Apakah Orang yang Ingin Safar Boleh Berbuka di Rumah Sebelum Berangkat Safar?

    Boleh baginya untuk berbuka walaupun masih di rumah (belum berangkat) apabila dia sudah bertekad ingin safar.

    Dalil atas hukum tersebut adalah apa yang di riwayatkan oleh Imam At-Tirmidziy Rohimahulloh dari jalur Muhammad bin Ka’ab beliau berkata :

    “” أتيت أنس بن مالك وقد رحلت راحلته ولبس ثياب السفر فدعا بطعام فأكله فقلت له ‘ سنة’؟ قال :سنة ثم ركب

    ” Aku mendatangi Anas bin Malik dan dia telah mempersiapkan kendaraannya dan dia telah memakai pakaian safar maka dia meminta untuk meminta makanan lalu dia memakannya,
    Akupun berkata : (apakah ini) sunnah?
    Diapun menjawab : sunnah, dan diapun berangkat.
    Selesai.

    Hadist ini diriwayatkan oleh At-Tirmidziy (799) dan yang lainnya, dan pendapat ini juga dishohihkan oleh Imam Muqbil Rohimahulloh dalam rekamannya yang di dokumentasikan disini :
    https://m.youtube.com/watch?v=fHfnJzZ-Euc&list=PLlSqUuO0YUnVzRZ4jDUX-DM8tMu7nTjCF&index=13&t=0s

    WALLOHU A’LAM BISSHOWAB
    SEMOGA BERMANFAAT

    DIHIMPUN OLEH :
    Grup Whatsapp THOLIB ALGHUROBA ASAHAN
    DARI KITAB ALMUGHNI 3/13

  • Jangan Meminta di Do’akan Kepada Seorang yang Telah Engkau Beri

    قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى ” إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جزٰأً وَلَا شُكُوْرًا”(سورة الإنسان أية 9)

    Alloh Subhanahuwata’ala Berfirman (Mengkabarkan Sifat Penghuni Surga) :

    ” Sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian semata-mata mengharap wajah Alloh, kami tidak menginginkan balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.
    (Surat al-Insan ayat 9)”

    Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله :

    ومن طلب من الفقرٰأ الدعاء أو الثنأ خرج من هذه الأية

    ” Barang siapa yang meminta kepada orang fakir (setelah memberi – pent), Agar didoakan atau pujian maka dia keluar dari ayat ini “
    Majmu’ fatawa 11/111

    Dinukil Oleh:
    Grup Whatsapp : THOLIB AL-GHUROBA’ ASAHAN

  • yang Mengamalkan ini, Dijamin Akan Tentram Hidupnya….

    Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhali hafidzahullah :

    Wahai anak anakku…..
    Demi Allah, sungguh aku ini benar-benar pemberi nasihat yang terpercaya.
    Demi Allah aku sangat mencintai kalian. Aku tidak akan pernah ridha seorang pun berada di atas kemurkaan Allah, walau hanya beberapa saat saja.

    Aku tidak akan pernah ridha salah seorang dari kalian -wahai saudara saudaraku- terjerumus dalam kesalahan.

    Nabi shallahu-alaihi wa-sallam bersabda,
    ” Tidak beriman salah seorang di antara kalian, sampai dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya”


    📌 قال الشيخ ربيع بن هادي المدخلي رعاه الله :

    🔰 يا أبنائي، والله إني لكم ناصح أمين، وإني محب لكم، ولا أرضى أن يمشي أحد في سخط الله لحظة واحدة، ولا أرضى لأحد منكم يا إخوتاه أن يغالط نفسه،
    {لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه }

    📚 مرحبا يا طالب العلم ص ٢٦

    👉🏻 Engkau senang berada di atas sunnah kan ?
    👉🏻 Engkau senang bisa taklim rutin kan ? Sehingga bertambah ilmumu ?
    👉🏻 Engkau senang kan beribadah kepada Allah dengan tentram ?
    👉🏻 Engkau senang kan shalat 5 waktu secara berjamaah di masjid ?
    👉🏻 Engkau senang kan urusan dunianya mudah, urusakan rezekimu lancar?
    👉🏻 Engkau senang kan punya usaha terus berjalan dengan baik ?

    🤝🏻 Tentu jawabannya, “pasti senang”. Maka engkau juga harus senang saudara saudaramu semuslim, semukmin, mendapatkan sesuatu yang kamu senang mendapatkannya. Itulah tanda kesempurnaan iman seorang mukmin.

    🛡️ Namun ketika engkau tidak senang dan tidak suka saudaramu mendapatkan apa yang kamu suka mendapatkannya, itu pertanda tidak sempurnanya iman seseorang dan kamu tidak akan tentram dan nyaman hidupmu.

    • Engkau pasti tidak senang kan terjatuh di atas sebuah kesalahan, namun tidak ada yang mengingatkan dan menegur ?
    • Engkau pasti tidak senang kan terjatuh dalam kesyirikan ?
    • Engkau pasti tidak senang kan terjatuh dalam kebid’ahan ?
    • Engkau pasti tidak senang kan terjerumus dalam kemaksiatan dan dosa ?
    • Engkau pasti tidak senang kan duniamu susah, rezekimu payah ?
    • Engkau pasti tidak senangkan usahamu tidak berjalan dengan baik?

    📍 Jawabanya, ” Tentu tidak senang dan tidak suka”, maka engkau juga harus tidak senang jika perkara perkara di atas terjadi pada saudaramu atau menimpa mereka, dalam artian engkau peduli dengan saudaramu dan tidak terhadal keadaan mereka.

    🗒️ Kesimpulannya adalah kita harus peduli dengan saudara kita sesama muslim dan sesama mukmin, dalam bentuk ; memberikan nasihat dan peringatan kepadanya untuk kemaslahatan agama dan akhiratnya dan juga untuk kemaslahatan keberlangsungan hidupnya di dunia ini.

    💎 Demikian itulah seorang mukmin yang sempurna imannya. Mudah mudahan kita semua termasuk dalam golongan orang orang yang sempurna imannya. Aamiin ya Rab bal Alamin

    📍Alih bahasa : Sholih bin Abdirrohman al Maidani -ghafarollah lahuma-

    🖥️ www.alghurobaasahan.net
    💻 Majmu’ah telegram
    https://t.me/alghurobaaeksongsongan

  • Kisah Ummu Syarik, Yang Diberi Minum dari Langit

    “Syaikh kami seorang wali, beliau bisa terbang di atas air, kebal terhadap api, dan banyak lagi karamah-karamahnya yang lain. Makanya… jangan coba-coba melanggar perintahnya, bisa kualat nanti…”

    Demikian pembicaraan yang kadang terdengar dari sebagian orang yang tidak memahami makna karamah dan siapakah sebenarnya wali Allah itu.

    Di pandangan sebagian kaum muslimin memang gelar wali sering dikaitkan dengan keanehan-keanehan yang dimiliki pelakunya, yang terkadang keanehan tersebut bisa dikeluarkan kapan saja dibutuhkan dan dipertontonkan sesuai keinginan.

    Hanya karena si pelaku keanehan tadi adalah orang yang masih melakukan salat, atau terlihat memiliki kemampuan agama atau berpakaian syar’i, maka dengan mudahnya gelar wali disandangkan kepadanya sekalipun banyak kemungkaran, kebid’ahan, bahkan kesyirikan masih dilakukannya.

    Maka adalah termasuk perkara yang penting bagi kaum muslimin untuk mengerti apa makna karamah, dan siapakah wali Allah yang terkadang Allah beri karamah dari keutamaan-Nya.

    Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

    أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّـهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

    “Ingatlah bahwa sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” [Q.S. Yunus: 62-63]

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis qudsi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

    مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
    “Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka sungguh dia telah membuka peperangan dengan-Ku, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepada dirinya. Senantiasa hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya. Maka jika Aku telah mencintainya, jadilah Aku pendengarannya yang dia mendengar dengannya, dan matanya yang dia melihat dengannya, dan tangannya yang dia bergerak dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya, dan jika dia meminta kepada-Ku sungguh Aku akan memberikannya, dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku akan melindunginya.” [H.R. Al Bukhari].

    Maka dengan dasar firman Allah serta hadis di atas dan juga banyak dari dalil-dalil yang lain, para ulama menjelaskan bahwa wali Allah adalah seseorang yang beriman dan bertakwa kepada Allah dengan keimanan dan ketakwaan yang bagus.

    Yang dengan sebab keimanan dan ketakwaannya itulah terkadang Allah berikan beberapa keutamaan dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Keutamaan-keutamaan yang tampak itulah yang disebut dengan karamah.

    Karamah adalah semata karunia Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, tidak bisa dipamerkan begitu saja kapanpun dikehendaki.

    Adapun orang-orang yang keadaannya sebaliknya, ia seorang muslim yang buruk keimanannya, pelaku kebid’ahan bahkan kesyirikan, mengaku memiliki karamah, mengaku dapat memperlihatkannya kapanpun dia ingin, maka kejadian-kejadian luar biasa yang dilakukan oleh dirinya adalah bagian dari apa yang dilakukannya bersama dengan setan, karena karamah Allah hanyalah Allah berikan kepada orang yang bertakwa.

    Dengan perantara karamah yang Allah berikan kepada seseorang, terkadang Allah bukakan pintu hidayah bagi orang lain. Karamah yang Allah berikan seakan menjadi sebuah bukti atau sebagai hujjah baginya di hadapan musuh-musuhnya.

    Atau terkadang ada beberapa karamah yang Allah jadikan sebagai ujian baik bagi orang tersebut ataupun bagi yang menyaksikannya, apakah akan menambah keimanan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ataukah justru menyebabkan kesombongan yang menyebabkan kebinasaan.

    Maka dalam kisah niswah kali ini, kita akan mendapati karamah yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada salah seorang shahabiyah ini, Allah jadikan sebagai sebab hidayah bagi kaumnya. Dialah Ummu Syarik radhiyallahu ‘anha.

    Nama beliau adalah Ghaziyah binti Jabir bin Hakim Al Quraisy radhiyallahu ‘anha. Beliau adalah wanita Quraisy dari Bani Amir bin Luay, Istri dari Abul Akri Ad Dausy.

    Mereka termasuk orang-orang Mekkah yang menyambut dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau hijrah ke Madinah. Islam telah masuk ke dalam hati mereka, mengokohkan keimanannya dan membuat semangat untuk berpegang kepada kebenaran membara di dada mereka.

    Maka didapati Ummu Syarik berusaha menyebarkan agama dan keyakinannya di tengah kaumnya. Ia mencoba mendatangi wanita-wanita Quraisy untuk mengajak mereka berislam. Tentunya semua bukan tanpa halangan. Gangguan, ujian, dan tekanan adalah suatu kemestian yang mesti dihadapi seseorang dalam berdakwah kepada Allah.

    Ketika seruan hijrah ditegakkan, maka berangkatlah Abul Akri Ad Dausy ke Madinah, dalam keadaan ia terhalang untuk membawa serta istrinya, Ummu Syarik. Tertinggallah Ummu Syarik di Mekkah.

    Ummu Syarik menceritakan keadaan dirinya ketika itu, “Keluarga Abul Akri Ad Dausy (yaitu keluarga suaminya) mendatangiku, lalu mereka berkata, “Jangan-jangan engkau telah berada di atas agamanya (Muhammad)”. Aku berkata, “Sungguh aku telah berada di atas agamanya”.

    Mereka berkata “Sungguh kami akan menyiksamu dengan siksa yang pedih”. Kemudian mereka membawaku keluar dari kampung kami menuju ke sebuah tempat bernama Dzilkhulashah. Mereka berjalan dan ingin membuat tempat singgah di tempat tersebut. Mereka membawaku di atas onta yang berjalan lambat, seburuk-buruk, dan sejelek-jelek tunggangan mereka.

    Mereka memberi aku makan berupa roti dan madu dan tidak memberiku setetes airpun. Ketika telah sampai kepada pertengahan siang, dan mataharipun mulai memanas, mereka turun dari unta dan membuat tenda.

    Mereka meninggalkanku di teriknya matahari hingga hilang akalku, pendengaran, dan penglihatanku. Mereka memperlakukan aku demikian selama tiga hari. Pada hari ketiga mereka berkata kepadaku, “Tinggalkanlah apa yang engkau ada di atasnya.”

    Aku tidak mengetahui apa yang mereka katakan kecuali kata perkata. Tidak jelas dikarenakan kehilangan sebagian kesadaran diri. Aku hanya mengisyaratkan ke langit dengan jari telunjukku sebagai isyarat kepada tauhid.

    Dan demi Allah sungguh aku benar-benar berkeyakinan demikian, dan sungguh ketika aku benar-benar merasa kehausan, tiba-tiba aku mendapati sebuah timba ada di atas dadaku. Maka aku mengambilnya dan aku minum darinya satu tegukan, kemudian timba itu terangkat dariku. Aku mengarahkan pandangan, maka ternyata timba tersebut tergantung antara langit dan bumi dan aku tidak mampu meraihnya.

    Kemudian timba itu diturunkan kepadaku untuk kali kedua, aku minum darinya satu tegukan. Kemudian timba itu terangkat dariku, dan aku mengarahkan pandangan, maka ternyata timba tersebut tergantung antara langit dan bumi. Kemudian timba itu diturunkan kepadaku untuk kali ketiga, kemudian aku minum darinya hingga aku puas dan aku tuangkan air ke atas kepalaku, wajahku, dan bajuku.

    Ketika mereka keluar, mereka melihatku dan mereka berkata, “Dari mana semua ini wahai musuh Allah?” Maka aku katakan kepada mereka, “Sesungguhnya musuh Allah bukanlah aku, musuh Allah adalah orang yang menyelisihi agama-Nya.”

    Dan adapun ucapan kalian, “Dari mana semua ini,” maka ini adalah dari sisi Allah sebagai rezeki yang Allah berikan kepadaku.”

    Bergegas mereka menuju sumur dan timba mereka. Mereka mendapatinya di tempatnya dan belum terlepas. Mereka pun seketika berkata, “Kami bersaksi bahwa sesungguhnya Rabbmu adalah Rabb kami dan sesungguhnya Dzat yang telah memberikan rezeki kepadamu adalah Dzat yang telah memberi rezeki untukmu di tempat ini setelah kami berbuat kepadamu apa yang telah kami perbuat. Dialah yang telah membuat syariat Islam.”

    Maka kemudian mereka masuk Islam dan berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka juga mengakui keutamaanku atas mereka dan apa yang telah Allah perbuat atas diriku.

    MasyaaAllah… Allah Maha Kuasa untuk memberikan pertolongan dan bantuan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertolongan yang Allah berikan kepada Ummu Syarik tidaklah Allah berikan tanpa sebab.

    Bahkan sebab adanya pertolongan Allah tersebut adalah keimanan dan ketakwaan yang ada di dada Ummu Syarik, yang keimanan tersebut mendatangkan keridhaan Allah dan menjadikan terjadinya kejadian luar biasa berupa diturunkan baginya sebuah timba penuh air dari atas langit untuk menghilangkan dahaganya.

    Tidaklah karamah yang diberikan Allah tersebut membuat Ummu Syarik merasa sombong serta membanggakan diri di hadapan kaumnya. Akan tetapi semua beliau nisbahkan kepada Allah, dari kemulian Allah subhanahu wa ta’ala semata.

    Maka Allah kemudian takdirkan hidayah masuk ke dalam hati kaumnya hingga akhirnya mereka dapat menerima Islam dan berhijrah menyusul Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.

    SubhanAllah, demikianlah salah satu bentuk karamah yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman. Bukan suatu perkara yang dapat direkayasa, tidak pula dapat dipamerkan dan diperlihatkan sekehendak hati. Akan tetapi benar-benar datangnya dari kuasa Allah dan keridaan-Nya.

    Sehingga jelaslah bagi kita bahwa tidaklah mungkin Allah memberikan keutamaan kepada orang-orang yang menyelisihi syariat-Nya. Jikalau ada kejadian-kejadian luar biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang banyak menyelisihi syariat-Nya, tidak lain yang demikian merupakan salah satu dari tipu daya setan yang bekerjasama dengan manusia untuk memberikan fitnah bagi orang-orang yang melihatnya agar tertipu dan mau mengikuti seruan-seruan mereka.

    Kita memohon perlindungan kepada Allah dari segala macam tipu daya syaithan di manapun kita berada… Amin.

    Sumber: Majalah Qudwah edisi 53 vol.05 1439 H rubrik Niswah.
    Pemateri: Ustadzah Ummu Abdillah Shafa

  • Kisah Fathimah bintu Al Khaththab

    Figur Keberanian Sang Kesatria

    Berani berkata benar, berani mempertahankannya, dan berani menghadapi segala risiko yang menghadang, adalah sifat kesatria. Para pejuang yang gagah adalah pemberani dalam memeluk kebenaran.

    Lantang mengikrarkannya, tidak gentar terhadap musuh sekuat apapun. Mereka pun tidak akan goyah dengan tawaran dunia, ataupun rayuan cinta semu. Apalagi sekadar celaan atau gunjingan yang tidak langsung didengar.

    Berani adalah sifat mulia lagi terpuji. Tentu maksudnya adalah berani yang terukur dengan barometer syariat. Berani yang terikat dengan kebenaran, bukan yang lainnya.

    Bukanlah berani, mereka yang lancang melanggar hukum Allah. Tidaklah disebut berani, mereka yang nekad menerjang batasan Allah. Karena hakikat keberanian mereka itu akan memgakibatkan kehancuran dan penyesalan yang tiada berakhir.

    Kalaupun hal itu disebut berani, maka berani yang tidak terpuji.

    Berapa banyak manusia pemberani, namun pada perkara yang menyebabkan murka Allah. Salah kaprah dalam memaknai arti berani, latah dalam upaya membuktikan jati diri.

    Hanya untuk dikatakan berani oleh komunitasnya yang terbatas, akhirnya rela mengambil risiko kematian yang naas. Ngebut di jalan, menenggak narkoba, dan semacamnya. Ya, berani tanpa bimbingan syar’i hanya akan menjerumuskan pada kebinasaan diri.

    Beranipun tidak identik dengan selalu garang. Berani pada tempatnya, santun dalam waktunya adalah sebuah hikmah bijak nan indah.

    Kenyataannya, tidak jarang orang yang sok berani atau tepatnya memaksakan diri untuk berani, kemudian kehilangan sifat lembutnya sama sekali.

    Mereka menerjemahkan berani sebagai sikap kaku tanpa kompromi. Sehingga keadaan seperti ini membentuk tabiat dan watak yang keras. Akhirnya, keluarga yang berhak mendapatkan kelembutan justru merasakan sikap arogan.

    Orang-orang lemah yang seharusnya mendapatkan pengayoman, justru seolah merasakan penindasan. Sekali lagi, berani harus terbingkai dalam tuntunan ilmu syar’i.

    Keteladanan salaf dalam hal keberanian sangat melimpah. Bahkan seluruh kehidupan mereka penuh dengan nilai-nilai keberanian. Bisa jadi fisik mungkin lemah, namun jiwa mereka kuat. Kemampuan bisa jadi terbatas, namun mereka selalu bersandar kepada Dzat yang maha mampu atas segalanya.

    Itulah ilmu yang membuahkan iman. Keyakinan kokoh yang membuat tegap dan teguh dalam menghadang berbagai rintangan yang ingin menggeser keimanan. Inilah berani yang sesungguhnya.

    Karena iman inilah, keberanian bukan hanya pada sebagian mereka. Bahkan hampir merata pada semua kalangan. Muda tua, laki-laki maupun wanita.

    Dalam lipatan kitab para ulama, termaktub biografi sosok wanita pemberani. Namanya begitu harum, terabadikan dalam berbagai karya fenomenal para ulama. Dalam kitab-kitab yang tersusun rapi, terjaga, dan tersimpan di perpustakaan kaum muslimin.

    Beliau adalah Fathimah bintu Al Khaththab radhiyallahu ‘anha, saudari manusia kedua dalam Islam ini setelah nabinya, Amirul Mukminin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

    Fathimah bintu Al Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza Al Quraisyiah Al Adawiyah adalah nama lengkap beliau. Sebagian mengatakan bahwa nama beliau adalah Umayyah. Ada yang mengatakan bernama Ramlah. Namun, yang paling masyhur adalah Fathimah.

    Adapun kuniyah beliau adalah Ummu Jamil. Beliau dipersunting oleh seorang shahabat yang mulia, yaitu Said bin Zaid Al Qurasyi radhiyallahu ‘anhu. Dari pernikahan ini, terlahirlah seorang putra bernama Abdurrahman.

    Sungguh rumah tangga penuh berkah. Betapa tidak, sang nakhoda adalah seorang shahabat agung yang termasuk sepuluh pemetik janji surga dari lisan mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak masih hidup.

    Seiya sekata dalam iman, merajut bahagia dalam kedamaian. Terbukti, beliau dan suami tercinta termasuk yang awal masuk Islam. Saat Islam dan pemeluknya mendapat berbagai tekanan dan siksaan dari kaum musyrikin.

    Namun, lihatlah keberanian yang berbalut iman! Semuanya terasa manis dan indah dalam keyakinan janji ilahi. Ya, inilah keimanan. Saudara! Cerminkanlah pada diri kita! Seberapa kesabaran kita saat didera ujian?! Kurang lebih seperti itulah kadar keimanan kita.

    Pergi meninggalkan tanah kelahiran, menuju tempat asing jauh dari sanak keluarga, pekerjaan pun belum pasti, apalagi penghidupan yang layak. Itulah gambaran hijrah waktu itu.

    Beranikah Anda menerima tantangan ini? Bagi kita mungkin akan berfikir seribu kali untuk melakukannya. Bagaimana anak istri? Mau makan apa, nanti tinggal di mana? Dan berbagai pertimbangan dunia.

    Pertimbangan yang sejatinya menunjukkan kelemahan iman terhadap janji Allah dan Rasul-Nya. Namun lihat para shahabat! Mereka adalah orang yang bersegera mengamalkannya.

    Termasuk yang awal berhijrah adalah Fathimah dan suaminya. Padahal mereka juga punya sanak keluarga, mereka juga butuh makan dan tempat tinggal.

    Ya, keimananlah yang membuat mereka berani mempertaruhkan berbagai kemungkinan. Keimanan membuat mereka berani melawan berbagai risiko yang menghadang.

    Anda pasti kenal Umar. Siapakah yang tidak mengenal sosok pemberani ini?! Dalam cuplikan kisah menakjubkan berikut, kita akan melihat bahwa Fathimah pun mampu melawan keberanian Umar. Karena keberanian Fathimah adalah keberanian dalam iman.

    Kisah itu dituturkan sendiri oleh Umar. Beliau mengatakan, “Tiga hari setelah masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muthalib, aku keluar rumah. Di jalan aku bertemu dengan seorang dari kabilah Makhzumi yang telah masuk Islam.” Orang itu satu kabilah dengan Umar.

    Umar melanjutkan, “Aku pun menegur orang tersebut. ‘Engkau telah keluar dari agama nenek moyang, dan mengikuti agama Muhammad?!’ Ia menjawab, ‘Apa yang telah aku lakukan ini, dilakukan pula oleh orang yang lebih besar haknya atasmu dari padaku.’ ‘Siapa dia?’ ‘Saudarimu dan suaminya.’

    Demi mendengar hal itu, aku segera menuju rumah Fathimah. Sesampai di sana, ternyata pintu rumah dalam keadaan terkunci. Dari luar, aku mendengar sesuatu. Setelah pintu dibuka, aku masuk dan langsung bertanya, ‘Apa yang aku dengar tadi?’ Fathimah menjawab, ‘Engkau tidak mendengar sesuatupun.’

    Aku memaksa bertanya lagi, namun Fathimah masih menutupi. Maka suara semakin meninggi. Maka aku pegang kepala Fathimah, kemudian aku pukul hingga berdarah.”

    Dalam sebagian referensi disebutkan bahwa Umar memegang dan memukul kepala iparnya, yaitu Said bin Zaid. Kemudian Fathimah bangkit dari belakang dan memegang Umar.

    Fathimah mengatakan, “Awas! Hal ini akan menjadi sebab kehinaanmu!” Umar kembali berkisah, “Aku pun merasa malu melihat darah itu.” Umar menyesal telah melukai saudara sendiri.

    Umar meminta lembaran yang sebelumnya dibaca Fathimah dan suaminya. Tertulis di sana surat Al Haqqah ayat 30 sampai 52. Maka itulah saat keimanan muncul dalam hati Umar.

    Subhanallah, keberanian Fathimah adalah di antara sebab masuk Islamnya Umar. Dengan gagah, Fathimah tetap kokoh mempertahankan imannya. Bahkan dengan keberaniannya Fathimah mengingatkan Umar.

    Suaranya keras dan lantang, tangannya pun tidak tinggal diam. Tidak peduli dengan Umar yang sejak lama terkenal dengan sikap kerasnya. Memang dengan iman, yang lemah akan menjadi kuat. Yang sedih akan berbahagia. Yang tertindas pun menjadi mulia.

    Diriwayatkan bahwa Fathimah bintu Al Khaththab radhiyallahu ‘anha pernah menyampaikan sebuah hadis yang beliau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
    “Senantiasa umatku akan berada dalam kebaikan selama tidak tampak pada mereka cinta dunia, pada ulama yang fasik, para pembaca Al Quran yang hakikatnya jahil, serta para penguasa yang lalim. Apabila hal ini muncul, aku khawatir Allah akan meratakan azab-Nya.”
    Keberanian Fathimah bintu Al Khaththab radhiyallahu ‘anha adalah keteladanan dalam membela dan mewujudkan kebenaran. Tidak surut mundur walau berbagai halang rintang menghadang.

    Terbukti bahwa sifat lemah pada wanita bukanlah bermakna rela terhina. Keberadaan wanita di dalam rumah bukanlah maksudnya terkungkung dalam kebatilan. Namun, mereka harus memiliki jiwa pemberani dalam meraih kebenaran.

    Ya, berani yang terbimbing dengan ilmu dan iman. Allahu A’lam.

    Sumber: Majalah Qudwah edisi 52 vol.05 1439 H rubrik Niswah.

    Pemateri: Ustadz Abu Muhammad Farhan

  • Mengingat Kematian dan Kegelapan Kubur

    Muslim bin Ibrahim berkata:

    كَانَ هِشَامٌ الدَّسْتُوَائِيُّ لَا يُطْفِئُ السِّرَاجَ إِلَى الصُّبْحِ وَقَالَ: إِذَا رَأَيْتُ الظُّلْمَةَ ذَكَرْتُ ظُلْمَةَ الْقَبْرِ

    “Adalah Hisyam Ad-Dustuwai tidak memadamkan lampunya (di malam hari) hingga waktu shubuh. Ia berkata, ‘apabila melihat kegelapan aku teringat kegelapan kubur.”

    Amr bin Haitsam berkata:

    مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ ذِكْرًا لِلْمَوْتِ مِنْ هِشَامٍ الدَّسْتُوَائِيِّ

    “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih sering mengingat kematian dari Hisyam Ad-Dustuwai”

    Hisyam Ad-Dustuwai adalah Abu Bakar Hisyam bin Sanbar Al-Bashri. Beliau seorang yang hafizh, hujjah, dan imam. Beliau meninggal tahun 154 H pada usia 78 tahun.

    Banyak mengingat kematian merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dengannya seorang hamba akan menyadari bahwa hidupnya di dunia ini hanya sementara. Sedangkan kematian akan mendatanginya secara tiba-tiba.

    Ia menyadari, bila ajal telah datang maka dia akan diletakkan di liang kecil yang sempit lagi gelap. Tidak ada yang menemaninya selain amalannya.

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
    “Perbanyaklah mengingat pelumat segala kelezatan” yaitu kematian.”
    (HR. Tirmidzi no.2307)
    Dalam hadits yang lain beliau bersabda:
    “Dahulu aku melarang kalian menziarahi kuburan. Sungguh Muhammad telah diizinkan menziarahi kubur ibunya, maka berziarahlah kalian kepada kuburan, karena ia akan mengingatkan kepada akhirat.” (HR. Tirmidzi no.1054)

    Sumber:
    Hilyatul Auliya
    Siyar A’lam An-Nubala
    Sunan Tirmidzi

  • Memberi Maaf Lebih Utama dalam Permasalahan Pribadi

    MEMBERI MAAF LEBIH UTAMA DALAM PERMASALAHAN PRIBADI

    Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah memberikan jawaban ketika ditanya tentang sikap yang lebih utama ketika menghadapi pihak yang menzalimi kita.

    Beliau berfatwa,

    إذا كانوا قد ظلموك وأحببت العفو عنهم فأنت مأجور ولك خير عظيم وفضل كبير؛ لأن الله جل وعلا يقول: وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى [البقرة:237]، ويقول النبي ﷺ: ما زاد الله عبداً بعفو إلا عزاً، ويقول جل وعلا: فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ [الشورى:40]، فأنت على خير عظيم فإذا ظلموك في غيبة أو مال أو سب أو نحو ذلك وعفوت عنهم فأنت مأجور جزاك الله خيراً

    “Apabila sekelompok orang menzalimi Anda, sementara Anda berkeinginan memaafkan mereka, Anda akan memperoleh pahala. Anda juga meraih kebaikan yang agung dan keutamaan yang besar.

    Sebab, Allah _Azza wa Jalla_ berfirman,

    وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى [البقرة:237]،

    “Adapun sikap kalian memberi maaf itu lebih menerapkan ketakwaan.” (Al-Baqarah: 237)

    Demikian pula Nabi _shallallahu ‘alaihi wasallam_ bersabda,

    ما زاد الله عبداً بعفو إلا عزا

    “Allah tidak akan mengaruniai seorang hamba yang memberi maaf selain tambahan kemuliaan.”

    Begitu pula firman Allah _Jalla wa ‘Ala_,

    فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ [الشورى:40]

    “Barang siapa memberi maaf dan berbuat baik, pahalanya Allah yang menanggungnya.” (Asy-Syura: 40)

    Jadi, Anda memperoleh kebaikan yang besar.

    Oleh karena itu, apabila mereka menzalimi Anda dalam bentuk gunjingan, harta, cercaan, atau semisalnya, kemudian Anda (justru) memaafkan mereka, sungguh Anda akan memperoleh pahala dan balasan kebaikan dari Allah.”

    Sumber : https://binbaz.org.sa/fatwas/12681/فضاىل-العفو-وطريقته

  • Bolehkah Membaca Kitab-Kitab Orang-Orang Menyimpang yang Ditulis Sebelum Menampakan Penyimpangannya (DiTahdzir Oleh Ulama)

    ASY-SYAIKH RABI’ BIN HADY AL-MADKHALY HAFIZHAHULLAH

    Pertanyaan:
    Sebagian orang yang dibicarakan (dibantah kesalahannya dan ditahdzir –pent) memiliki kitab-kitab, maka sebagian manusia ada yang menanyakan apakah boleh memanfaatkan kitab-kitabnya sebelum orang-orang yang menyimpang itu dibantah dan sebelum nampak penyimpangannya dari manhaj Salaf, maksudnya apakah kitab-kitabnya yang lama boleh dimanfaatkan?

    Jawaban:

    بسم الله الرحمن الرحيم
    ال حْ مَ دْ لله و اِلص لَّا ةَ و اَلس لَّا مَ ع لَ ىَ ر سَ وُ لْ اللهِ
    و عَ لَ َى آل ِه و صَ َح بْ هِ و مَ َن ات بَّ َع ه ُد اَه أ مَ َّا
    :ب عَ دُْ

    Sebagai jawaban atas pertanyaan ini saya katakan:
    Jika orang yang kalian sebutkan ini dia memiliki kitab-kitab di atas manhaj Salafus Shalih dari sisi akidah, dakwah, dan manhaj, dan padanya tidak terdapat cacat, maka dilihat dulu penyimpangannya. Jika hal itu berupa ketergelinciran sebagian ulama atau ketergilinciran para ulama yang masih diharapkan taubatnya dan meninggalkan kebathilannya, maka ketergelincirannya ini dimintakan ampunan, diharapkan kebaikan untuknya, dan tidak terburu-buru menyikapinya.

    Namun jika dia adalah orang yang telah menyebar kejahatannya, membahayakan, membangkang, menyombongkan diri, dan enggan untuk kembali kepada jalan yang benar, maka orang semacam ini diantara bentuk hukuman terhadapnya adalah dengan tidak menerima kebenaran darinya (maksudnya tidak membaca kitabnya, tidak mendengar kasetnya, dan tidak belajar kepadanya, bukan berarti menyatakan bathil jika dia bicara yang benar –pent).
    Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian Salaf:
    “DIANTARA HUKUMAN AHLI BID’AH ADALAH DENGAN TIDAK MENERIMA KEJUJURAN MEREKA.”

    Kita tidak butuh terhadap mereka, karena sudah cukup dengan Kitab Allah, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam, serta warisan yang banyak dan agung yang telah ditinggalkan untuk kita oleh para pendahulu kita dalam semua bidang, apakah akidah, manhaj, akhlak, hukum halal haram, dan yang semisalnya. Manusia bersegera dan lebih suka mendatangi sesuatu yang baru, padahal sesuatu yang baru itu terkadang mengandung bencana dan musibah.

    Maka yang pertama kali hendaknya kalian berada pada tingkatan pertama, yaitu dengan mempelajari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi was sallam karena pada keduanya terdapat petunjuk dan cahaya dan telah mencukupi. Kemudian dengan riwayat-riwayat dari Salaf yang berporos pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam. Kemudian disertai dengan upaya mengokohkan manusia di atas kandungan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu‘alaihi was sallam dalam perkara-perkara akidah dan manhaj, dan itu sangat banyak sekali.

    Jadi hendaknya kalian menimba ilmu darinya (Al-Qur’an, As- Sunnah dan riwayat Salaf) walhamdulillah. Karena sesungguhnya dikhawatirkan terhadap seorang penuntut ilmu jangan sampai dia diculik oleh orang-orang yang pura-pura menampakkan manhaj Salaf, kemudian Allah nampakkan hakekat mereka dan Allah bongkar tujuan busuk mereka.

    Hal semacam ini telah banyak terjadi di masa ini. Ada orang-orang yang lahiriyahnya di atas manhaj Salaf, kemudian setelah malam dan hari berganti serta terjadi berbagai peristiwa, tiba-tiba tersingkaplah keadaan mereka. Kita tidak tahu apakah dahulu mereka benar-benar di atas kebenaran dan merasa puas dengan manhaj Salaf?! Ataukah mereka hanya berkedok saja?! Allah saja yang mengetahui hakekat keadaan mereka.

    Maka orang-orang yang semacam mereka itu saya berpendapat untuk tidak merasa butuh kepada mereka dan tidak perlu bersedih karena merasa kehilangan mereka dan apa yang telah mereka usahakan. Pada kita ada yang telah mencukupi walhamdulillah.
    Hanya kepada Allah saja saya memohon agar mengokohkan kami dan kalian di atas kebenaran serta menjauhkan kami dan kalian dari berbagai fitnah yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya Rabb kita Maha Mendengarkan doa.

    و صَ لَ ىَّ الله ع لَ ىَ ن بَ يِ نِّ اَ م حُ مَ دَّ و عَ لَ ىَ آل هِِ
    .و صَ حَ بْ هِ و سَ لَ مََّ

    Sumber:
    http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=143439

  • Bolehkah Mengambil yang Termudah Ketika Ada Perbedaan Pendapat Diantara Para Ulama

    Asy-Syaikh Muqbil bin Hady Rahimahullah

    Pertanyaan:
    Ketika ada perbedaan pendapat di kalangan ulama pada suatu masalah, apakah boleh bagi seseorang untuk mentarjih diantara pendapat pendapat mereka dan mengambil yang sesuai dengan dirinya, padahal orang tersebut bukan termasuk orang yang ahli di dalam mentarjih, dan apakah hal ini termasuk perbuatan mencari-cari rukhshah (keringanan)?

    Jawaban:
    Ini adalah perkara yang penting, sebagian orang-orang Al-Azhar racun-racun mereka telah menebar di negeri-negeri Islam dan mereka pernah berbicara semisal dengan hal ini di al-Jami’ah al-Islamiyyah, yaitu bahwasanya jika muncul sebuah perkara maka dilihat perkataan-perkataan para ahli fikih, kemudian diambil yang paling mudah bagi manusia, dan seakan-akan kita diberi kebebasan memilih di dalam agama Allah, padahal perkataan-perkataan para ahli fikih bukanlah hujjah. Tetapi barangsiapa yang mmeiliki kemampuan untuk melihat dalil-dalil dan perkataan-perkataan mereka, kemudian dia mentarjih sesuai tuntutan dalil, maka dia boleh melakukannya. Kalau tidak demikian maka Rabbul ‘Izzah berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia:

    ف اَس أْ لَ وُ اْ أ هَ لْ الذ كِّ رْ إ نِ ك نُ تْ مُ لا ت عَ لْ مَ وُ نَْ

    [“Maka bertanyalah kepada para ulama jika kalian tidak mengetahui.”
    (QS. An-Nahl: 43]

    Adapun sikap main-main yang dilakukan oleh banyak orang-orang Al-Azhar dengan memilih apa yang sesuai dan cocok dengan realita dan selera manusia, maka ini tidak benar Dan para ulama telah mengatakan:
    “Mencari-cari rukhshah adalah perbuatan zindiq (kekafiran).”
    Jadi wajib untuk mengambil pendapat yang sesuai dengan tuntutan dalil, kalau dia tidak mampu maka hendaklah dia bertanya kepada ahli ilmu tentang dalilnya.

    Fadha-ih wa Nasha-ih, hal. 121-123
    Sumber: http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=3474

    الشيخ مقبل بن هادي الوادعي رحمه الله
    السؤال:
    عند اختلاف العلماء في مسألة هل للشخص أن يرجح بين أقوالهم ويأخذ
    ما يناسبه مع أنه ليس من أهل الترجيح وهل هذا يعد من تتبع الرخص؟
    الإجابة:
    هذا أمر مهم؛ فبعض الأزهريين بثت سمومهم إلى كثير من البلاد
    الإسلامية وكانوا يتكلمون بنحو هذا في الجامعة الإسلامية أنها إذا
    حدثت قضية تنظر إلى أقوال الفقهاء، ثم تأخذ الأسهل على الناس
    وكأننا مفوضون في دين الله.
    وأقوال الفقهاء ليست بحجة بل من كان أهلا أن ينظر في أدلتهم
    وأقوالهم ثم يرجح ما يقتضيه الدليل فعل، وإلا فرب العزة يقول في
    كتابه الكريم: “ف اَس أْ لَ وُا أ هَ لْ الذ كِّ رْ إ نِ ك نُت مُ لاَ
    [ ت عَ لْ مَ وُن ”َ [النحل: 43
    أما ألعوبة كثير من الأزهريين ما يناسب ومايتلأم مع الواقع ومع
    الناس فلا.
    وقد كان العلماء يقولون: تتبع الرخص زندقة.
    فلا بد من الأخذ بما يقتضيه الدليل، وإلا فليسأل أهل العلم عن
    الدليل.
    122- فضائح ونصائح ص 121

  • BOLEHKAH BAGI ORANG YANG SUDAH SHALAT TARAWIH DAN DITUTUP DENGAN WITIR UNTUK KEMUDIAN IA MELAKUKAN SHALAT TAHAJJUD?

    ✍🏻 Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah

    [Pertanyaan:]

    ◾Apa hukumnya shalat Tarawih dan shalat Tahajjud?

    ◾Kapankah waktu shalat Tahajjud ? Dan berapakah jumlah raka’atnya?

    ◾ Dan apakah boleh bagi siapa yang sudah shalat Witir setelah selesai dari Tarawihnya, untuk ia shalat Tahajjud, ataukah tidak boleh?

    ◾ Dan apakah shalat Tarawih diharuskan bersambung dengan shalat Isya, yaitu dilakukan setelahnya secara langsung, ataukah boleh seandainya ada suatu jama’ah yang bersepakat untuk mengakhirkannya setelah shalat Isya, lalu mereka berpisah dan berkumpul lagi di lain kesempatan untuk mengerjakan shalat Tarawih? Ataukah yang demikian itu tidak boleh?

    [Jawab:]

    ◻Adapun shalat Tarawih, maka hukumnya sunnah muakkadah, dan pelaksanaannya adalah setelah shalat Isya dan sunnah rawatibnya (ba’diyyah) secara LANGSUNG. Inilah yang menjadi amalan kaum muslimin semenjak dahulu.

    ◻ Adapun mengakhirkannya sebagaimana ditanyakan oleh penanya, sehingga mereka mendatangi masjid dan mengerjakan Tarawih tersebut; maka ini menyelisihi apa yang telah menjadi amalan (muslimin) terdahulu. Para ulama ahli fiqih menyebutkan bahwasanya Tarawih itu dikerjakan segera setelah shalat Isya dan sunnah rawatibnya. Namun seandainya mereka mengakhirkannya, maka tidak kami katakan bahwa ini haram, akan tetapi yang demikian itu menyelisihi apa yang telah menjadi amalan semenjak dulu.

    ◻ Adapun Tahajjud; maka hukumnya juga sunnah, dan padanya terdapat keutamaan yang besar. Dan Tahajjud adalah shalat malam (yang dikerjakan) setelah bangun tidur. Lebih-lebih pada sepertiga malam terakhir, atau setelah pertengahan malam. Padanya terdapat keutamaan besar dan pahala yang banyak. Bahkan termasuk seutama-utama shalat Tathawwu’ (tambahan) yaitu Tahajjud di malam hari.

    Allah Ta’ala berfirman:

    إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئاً وَأَقْوَمُ قِيلاً

    “Sesungguhnya bangun (shalat) malam itu lebih kuat pengaruhnya dan lebih tepat bacaannya.” (Al-Muzamil 6)

    dan termasuk bentuk meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

    ◻ Dan seandainya seseorang shalat Tarawih, dan ia ikut Witir bersama imamnya, kemudian ia bangun lagi waktu malam dan melakukan Tahajjud; maka tidak ada larangan dari hal tersebut, dan tidak perlu ia mengulangi Witirnya, telah cukup baginya Witir bersama imamnya (tadi), dan ia bertahajjud dari sebagian waktu malam sepanjang apa yang Allah mudahkan.

    Dan jika ia mengakhirkan Witirnya hingga akhir shalat malam, maka tidak mengapa, tetapi ia kehilangan (keutamaan) mengikuti imam. Maka yang lebih utama agar ia mengikuti imam untuk Witir bersamanya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: 

    من قام مع الإمام حتى ينصرف ؛ كتب له قيام ليلة 

    “Barangsiapa shalat bersama imam sampai selesai, niscaya dituliskan (pahala) baginya shalat semalam suntuk.” (H.R Abu Daud, Tirmidzi, Ab-Nasai, Ibnu Majah)

    Maka ia ikuti imamnya, ia ikut Witir bersamanya, dan yang demikian ini tidak menghalanginya untuk bangun lagi di akhir malam guna bertahajjud semampunya.”

    TANYA JAWAB SEPUTAR SHALAT TARAWIH DAN TAHAJJUD
    | Sumber: Al-Muntaqa min Fataawaa al-Fawzan (jilid 3, hal. 76, fatwa no.116).
    | Faidah dari Ustadz Muhammad Higa hafizhahullah_Sewon Bantul

    ••••
    🌏 Link:
    http://forumsalafy.net/tanya-jawab-seputar-shalat-tarawih-dan-tahajjud/

Close
Close